SUKU BIMA
NUSA TENGGARA BARAT
Disusun oleh:
Hilda Nur Fauziah
54414989
1IA02
UNIVERSITAS GUNADARMA
ATA 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia
adalah Negara kepulauan dengan berbagai keanekaragaman suku ditiap-tiap daerah
yang telah diwariskan dari nenek moyang ke generasi-generasi berikutnya, salah
satunya adalah provinsi Nusa Tenggara Barat. Disana terdapat pulau Sumbawa dan
Lombok yaitu dua pulau terbesar yang berada di Nusa Tenggara Barat. Selain kaya
akan sumber daya alamnya, provinsi Nusa Tenggara Barat ini memiliki pesona alam
yang sangat indah dan menarik untuk dikunjungi. Namun, pada makalah ini saya
akan membahas suku yang berada di pulau Sumbawa yaitu suku Bima dengan berbagai
keanekaragaman budaya dan tradisi yang sangat kental dan sudah turun temurun
hingga saat ini.
B.
Tujuan
Pembahasan Suku Bima
Tujuan
pembuatan makalah ini umumnya dilakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu
Budaya Dasar dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia
mengenai kebudayaan suku Bima. Terlebih khususnya untuk saya memperoleh
informasi mengenai sejarah singkat suku Bima yang letaknya berada di provinsi
Nusa Tenggara Barat, tentang filosofi kehidupan suku Bima, tardisi yang ada di
Bima berupa upacara adat dan tatacara kehidupannya serta nilai-nilai yang dapat
kita ambil dari tradisi suku Bima ini.
BAB II
SEJARAH /
ASAL-USUL
A.
Asal-Usul
Kehidupan Suku Bima
Suku
Bima adalah salah satu suku yang berada di wilayah kabupaten Bima provinsi Nusa
Tenggara Barat. Suku yang berada di Kepulauan Sumbawa ini sudah ada sejak
tanggal 5 Juli 1640 M sejak zaman kerajaan Majapahit. Terdapat dua sebutan
untuk orang Bima, yakni Dou Donggo (orang Donggo) merupakan sebutan bagi
masyarakat Bima yang pertama kali dan sudah sejak lama mendiami tanah Bima yang
umumnya menempati wilayah pegunungan. Hal ini karena mendapat desakan dari
pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama jauh diluar kebudayaan
masyarakat Bima sehingga kehidupan yang mereka jalani masih sangat jauh berbeda
dengan kehidupan masyarakat Bima saat ini. Sedangkan kepercayaan asli yang di
anut oleh masyarakat Bima adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme).
Meskipun masyarakat Bima selalu kedatangan orang-orang dari luar untuk
menyebarkan agama dan budaya namun mereka sangat sukar untuk meninggalkan
kepercayaan yang telah dianutnya karena kepercayaan terhadap Marafu ini telah
mempengaruhi kehidupan masyarakat Bima. Sekitar abad ke-15 orang-orang datang
dari luar selain untuk menyebarkan agama dan budaya tetapi salah satunya untuk
mata pencaharian. Para pendatang tersebut masih berasal dari daerah-daerah
sekitar seperti Makassar dan Bugis. Orang-orang tersebut mereka menyebutnya Dou
Mbojo (orang Bima). Meskipun satu wilayah tetapi kedua orang Bima tersebut
memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda.
B.
Filosofi
Kehidupan Suku Bima
Bagi
masyarakat Bima berladang atau bercocok tanam merupakan warisan turun temurun
dari para leluhur. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menjauhkan diri dari
kemiskinan mereka menggarap ladang berpindah-pindah dari gunung yang satu ke
gunung lainnya. Sebelum memulai berladang biasanya mereka bermusyawarah
terlebih dahulu untuk membahas pembagian kerja. Kaum laki-laki bertugas
menyiapkan seluruh peralatan sedangkan kaum perempuan bertugas menyiapkan makan
dan minum serta menanam di ladang yang telah digarap oleh kaum laki-laki.
Selain berladang, masyarakat Bima
juga membuat kerajinan tenun. Kain tenun Mbojo merupakan kain tenun khas asal
daerah Bima yang dibuat oleh tangan-tangan perempuan Bima untuk mengisi waktu
luang sembari menunggu suami pulang bekerja. Kain tenun asal Bima ini sudah
menjadi komoditas andalan dalam kegiatan perdagangan di Nusantara. Sarung
(tembe), destar (sambolo) dan ikat pinggang (weri) merupakan beberapa kain yang
paling populer.
Setiap hari Minggu pagi biasanya
masyarakat Bima menggelar permainan balap kuda. Uniknya joki pada pacuan kuda
tradisional Bima ini adalah anak-anak dengan kisaran umur sekitar 7-10 tahun.
Penyelenggaraan kegiatan pacuan kuda tradisional ini setiap tahunnya mampu
menyedot perhatian dan antusiasme masyarakat dari berbagai kalangan. Bahkan,
peserta yang ikut tidak hanya dari Kabupaten Bima, akan tetapi berasal dari
kabupaten-kabupaten lain di sekitar Bima, yaitu: Kota Bima, Kabupaten Dompu,
Sumbawa, Lombok bahkan ada peserta dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.
BAB III
TRADISI SUKU
A. Tradisi
yang terdapat di Suku Bima
1. Upacara U’a Pua
Dalam
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, masyarakat Bima rutin melaksanakan
tradisi upacara adat yaitu upacara Upacara U’a Pua yang berlangsung selama 7
hari yang dirangkai dengan aktrasi masyarakat Bima. Namun, sebelum memulai pada
acara inti masyarakat Bima dan para tamu melakukan dzikir terlebih dahulu. Pada
saat dzikir berlangsung para dzikir dan tamu diberikan daun pandan yang
dicampuri dengan kembang dan wangi-wangian. Daun pandan tersebut diberikan
untuk membuat “bunga bareka”. Untuk mengawali Upacara U’a Pua ini masyarakat
Bima melaksanakan pawai yang diikuti oleh seluruh masyarakat Bima baik itu
Laskar Kesulatanan, Keluarga Istana, dan Group Kesenian Tradisional Bima yang
dimulai dari istana Bima. Group Kesenian terus memainkan Genda Mbojo, Silu dan
Genda Lenggo pada saat pawai berlangsung dengan dua penari Lenggo yang
dilengkapi dengan Upacara U’a Pua. “Sare Pua” dan Al-Qur’an diserahkan ketika
Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan.
Gambar 3.1.1. Upacara adat U’a Pua
2.
Prosesi
Adat Pernikahan Mbojo
Pernikahan
merupakan dua insan yang saling mengikat janji suci antara seorang pria dan
wanita sebagai suami istri dengan tujuan hidup bersama membentuk keluarga. Pernikahan
merupakan salah satu tradisi dan adat istiadat masyarakat Bima yang telah berpadu
dari berbagai suku yang berasal dari daerah-daerah sekitar dan didominasi oleh
penduduk imigrasi. Para pendatang tersebut selain untuk menyebarkan agama dan
budaya tetapi juga sebagai mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan
atau pegawai pemerintahan. Namun, untuk berbaur dengan masyarakat asli Bima
maka para pendatang melakukan perkawinan dengan gadis-gadis penduduk asli Bima.
Seiring
dengan perkembangan zaman, maka tak heran masyarakat Bima memiliki beragam
kepercayaan yang dianutnya meskipun sebagian besar masyarakat Bima memeluk
agama Islam. Sehingga dalam upacara perkawinan masyarakat Bima melakukan prosesi
berdasarkan syariat Islam.
a.
Tahapan
palinga
Tahapan palinga ini merupakan
awal mula dari seoarang pria (jejaka) mencari dan menemukan seorang gadis yang
akan dijadikan istri. Sebelum gadis tersebut bersedia menerima jejaka itu
banyak proses yang harus dilakukan yaitu memberitahukan terlebih dahulu kepada
orang tua kemudian dari pihak keluarga pria memberi utusan kepada orang lain
untuk mecari tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis tersebut.
Setelah sang gadis menerima maksud hati sang jejaka maka mereka bersepakat
untuk menentukan waktu yang tepat kapan keluarga dari pihak pria datang ke
rumah keluarga gadis itu untuk melakukan proses peminangan secara resmi.
b. Peminangan
Sebelum menjelang pernikahan
keluarga dari pihak pria beserta rombongan mendatangi kerumah gadis itu untuk
mengadakan pembicaraan yang lebih lanjut mengenai hari, tanggal dan berbagai
syarat yang diperlukan untuk prosesi pernikahan.
Pada acara pernikahan,
pertama-tama sebelum melakukan akad atau pesta(jambuta) di Bima ada istilah
Co’i dan Tarima Co’i merupakan tahapan serah terima mahar yang diawali dengan
bertemunya kedua keluarga yang telah diwakili oleh Ompu Panati atau juru
runding keluarga. Kemudian prosesi penjemputan istri ke rumah orang tuanya yang
dibangun oleh calon mempelai pria dengan diiringi Hadrah Rebana atau atraksi
Gentaong.
Untuk menghormati rombongan calon
pengantin pria yang telah tiba dirumah calon pengeantin wanita maka keluarga
dari calon pengantin wanita menyambutnya dengan menaburi beras kuning. Kemudian
calon mempelai pria dipersilahkan untuk menjemput calon mempelai wanitanya.
Lebih menarik lagi ada tradisi balas pantun dianatara kedua calon pengantin
tersebut.
c.
Upacara
Malam Kapanca
Upacara malam kapanca adalah
uapacara pemakaian daun pacar yang hanya diikuti oleh perempuan dan dilakukan
pada malam hari dan biasanya berlangsung hingga esok pagi sebelum melaksanakan
akad nikah. Sebelum upacara kapanca dimulai, calon mempelai wanita terlebih
dahulu mandi uap dengan memakai bunga dan rempah-rempah. Kemudian di adakan
acara siraman, dilanjut dengan acara membersihkan, menata dan merias kamar
pengantin. Setelah selesai, barulah upacara malam kapanca dilaksanakan dan pada
saat upacara berlangsung calon mempelai wanita dirias layaknya riasan
pengantin. Untuk pemakain daun pacar tersebut harus berjumlah ganjil dengan
maksud sebagai doa restu agar kelak calon memperlai wanita mendapat kebahagiaan
dalam berumah tangga. Selain itu, upacara ini juga bertujuan untuk memberikan
contoh kepada perempuan yang hadir mengikuti acara ini diharapkan agar segera
mengikuti jejak seperti calon mempelai wanita. Tidak lupa acara ini diberikan
nyanyian tradisional Bima yang diiringi dengan biola dan syairnya pun berupa
pantun yang berisikan nasehat untuk kedua mempelai.
d.
Upacara
Wa’a Coi (Antar Mahar) dan Akad Nikah
Pada hari dimana telah ditetapkan
pelaksanaan akad nikah. Keluarga mempelai pria beserta rombongan membawa
perlengkapan yang sesuai dengan syarat yang telah disepakati bersama. Rombongan
datang bersama dengan ketua adat/tokoh kelaurga yang menjadi juru bicara untuk
mewakili orang tua dengan diiringi hadra dan salawat Nabi. Untuk bisa masuk
menuju kediaman mempelai wanita maka rombongan dari calon mempelai pria harus
melewati potongan bambu yang dipegang melintang oleh sejumlah ibu dengan cara
saling mendorong antar kedua keluarga sehingga dari mempelai wanita akhirnya
akan kalah. Bukan hanya itu tetapi dari rombongan calon mempelai pria juga
harus menunjukkan kemampuannya agar bisa masuk dan melanjutkan ke acara akad
nikah.
e. Acara Tokencai
Acara tokencai adalah penjemputan
pengantin wanita (istri) yang ada di kamar oleh pengantin pria. Namun, sebelum
diperbolehkan masuk kamar terjadi saling balas pantun terlebih dahulu di depan
pintu dan sang suami harus memberikan hadiah untuk istri agak diperbolehkan
masuk. Acara ini dilakukan setelah prosesi akad nikah selesai dilaksanakan
kemudian dilanjutkan acara pesta dan syukuran yang telah disepakati bersama
anatara dua kelaurga. Selain itu, dihari esok masih ada acara yang masih harus
dilakukan oleh pasangan pengantin tersebut yaitu prosesi memandikan pengantin
dengan air doa yang suci dengan harapan semoga mereka tetap bersih dan suci
sebagaimana ketika meraka terlahir di dunia.
Gambar 3.1.2. Pernikahan Adat Mbojo
B.
Nilai-Nilai
yang dapat di ambil dari Tradisi Suku Bima
Pada
setiap tradisi adat istiadat dan tatacara masyarakat Bima pasti memiliki nilai
luhur masing-masing dalam kehidupan yakni menjaga serta melestarikan budaya dan
tradisi tradisional yang sampai saat ini masih sangat kental dilakukan pada
acara pernikahan dan upacara adat. Karena masyarakat Bima mayoritas beragama
Islam maka pada saat melaksanakan upacara dan tata cara pernikahan dilakukan
berdasarkan syariat Islam.
Secara
umum, pakaian adat Bima memiliki nilai-nilai ajaran Islam. Pakaian adat bima
berfungsi sebagai penutup aurat. Selain sebagai pakaian sehari-hari busana adat
Bima bisa difungsikan sebagai pakaian ketika melaksanakan shalat.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari
uraian yang telah saya bahas diatas maka dapat disimpulkan bahwa Suku Bima
adalah salah satu suku yang letaknya berada di wilayah kota Bima, provinsi Nusa
Tenggara Barat. Selain orang Bima ada juga para pendatang yang menempati suku
Bima untuk mata pencaharian. Meskipun keduanya menempati daerah yang sama
tetapi kedua orang tersebut memiliki bahasa yang berbeda. Suku Bima ini memiliki
beragam keunikan yang sangat menarik untuk dibahas yaitu pada tradisi dan
tataracara yang dilakukan oleh masyarakat Bima seperti upacara adat atau
tatacara prosesi pernikahan dengan nilai-nilai luhur yang memiliki makna sangat
penting pada masing-masing tradisi.
DAFTAR PUSTAKA
diakses tanggal 5
April 10:15
diakses tanggal 5 April 10:15
diakses tanggal 5
April 10:15
diakses tanggal 5
April 10:15
http://thehouseofseserahan.blogspot.com/2011/01/tata-cara-pernikahan-adat-bima-ntb.html diakses
tanggal 5 April 10:15
diakses tanggal 22
April 17:10
Komentar
Posting Komentar